Verhalen archief
Stichting Niet te Kraken

Tanggal 12 Mei, dua hari setelah kemenangan besar melawan timnas Indonesia B, Go Ahead Eagles dijadwalkan melawan timnas Indonesia A, pada waktu itu disebut PSSI Harimau. Staff PSSI, F.H. Hutasoit menyatakan kepada jurnalis yang berkumpul sebelum pertandingan bahwa pertandingan kali ini akan menjadi ajang balas dendam timnas kepada Go Ahead Eagles. Dirinya juga belum lupa bahwa pada saat tur ke Eropa tahun 1976, Timnas dibantai 4-0 oleh tim yang sama. Walaupun sudah berkoar seperti itu, menurut harian The Deventer Daily, penonton yang mengisi stadion waktu itu hanya 65.000 orang.

Stichting Niet te Kraken
Go Ahead Eagles-secretaris Bouvy met twee herinneringsvanen van de Indonesische voetbalbond PSSI. Foto: collectie Louis van Nuissenburg.

Aura balas dendam sungguh terasa, Timnas Indonesia memulai pertandingan dengan cepat, bergairah, dan langsung mendapatkan peluang emas di menit pertama. Berdasarkan laporan dari Surat Kabar Kompas, Go Ahead Eagles berada di bawah tekanan yang ketat dari variasi taktik menyerang timnas, tim dari Deventer ini terasa tegang dan seringkali hanya bisa menendang bola jauh ke depan untuk keluar dari tekanan. Satu peluang emas datang ketika Abdul Kadir sendirian di hadapan Nico van Zoghel, sayangnya dia kehilangan kontrol. Pertandingan tidak berjalan baik untuk Go Ahead Eagles, dan memang tidak akan berpihak pada mereka. Pada menit ke 24, Van Zoghel tidak bisa mengontrol bola tendangan jarak jauh Sofyan Hadi, bola masuk ke dalam gawang setelah menerpa mistar terlebih dahulu. 1-0.

Setelah itu barulah Go Ahead Eagles bisa keluar dari tekanan dan mulai membuat timnas balik tertekan. Timnas Indonesia mundur dan hanya menyisakan dua penyerang, Kadir dan Risianto, di depan. Terutama di babak kedua, semua aksi permainan berada di area setengah lapangan Indonesia. Go Ahead Eagles menyadari kalau bergantung pada operan pendek tidak akan berhasil menembus pertahanan Indonesia, jadi mereka mengubah taktik menjadi memainkan bola jauh langsung ke area gawang Indonesia, berharap pada keunggulan postur tubuh para pemainnya. Setelah 1-0, Go Ahead Eagles mendapatkan 11 sepak pojok, tapi tidak ada yang berbuah gol. Terlebih Indonesia memainkan pergantian pemain dengan tepat untuk memperkuat barisa pertahanan. Emosi pemain Go Ahead Eagles mulai memanas. Pemain mulai marah-marah dan komplain kepada wasit Oo Suwardi, berakibat bek kiri Bert Strijdveen dihadiahi kartu kuning.

Go Ahead mulai menyerang dengan sporadis, bahkan memainkan van Zoghel sebagai penyerang ekstra di menit-menit akhir. Walaupun begitu taktik ini tidak menghasilkan gol untuk anak-anak Deventer, skor 1-0 tetap bertahan. Setelah wasit meniup peluit panjang Van Zoghel dan beberapa pemain melakukan protes karena merasa waktu pertandingan belum belum usai. Menurut Surat Kabar Kompas, waktu di papan skor memang belum menunjukkan 90 menit, tapi jam tangan wasit sudah.

Stichting Niet te Kraken
Foto uit Kompas van 13 mei 1978. Keeper Nico van Zoghel (tweede van rechts) gaat mee naar voren en probeert het met een omhaal.

Beberapa hari kemudian, pada sebuah ulasan pertandingan Go Ahead Eagles melawan Timnas Indonesia di harian Kompas, reporter Yusuf Kadir sedikit berlebihan “menghajar” pemain-pemain dari Deventer itu. Disebutkannya pemain kurang jago dalam membongkar pertahanan berlapis, senjata mereka terbatas hanya kepada operan-operan cepat dan postur tubuh yang besar. Ditambahkan kalau pemain terbaik dan berpengalaman, Stef Walbeek, tidak terasa kehadirannya sepanjang pertandingan ke dua ini. Nico van Zoghel menunjukkan dirinya sebagai pemain yang emosian (bukan hanya karena penampilannya di lapangan, tapi juga karena sikapnya setelah peluit akhir ditiup), muncul pertanyaan apakah sang kiper adalah pilihan tepat sebagai kapten Go Ahead Eagles? Kadir menulis, Tim Harimau memang layak menang, karena sudah bisa bertahan dengan kompeten. “Sepakbola hasil akhir” seperti ini adalah hal lumrah, bahkan di piala dunia pun sering terjadi.

Oo Suwardi menjadi persona non grata bagi tim dari Deventer setelah pertandingan. Manager Bob Maaskant mengatakan kepada jurnalis Belanda kalau wasit sudah mendapat instruksi (dari tuan rumah). “Sangat jelas kalau kami kalah pada pertandingan tersebut. Wasitnya benar-benar sebuah lelucon.” Gol yang bersih dianulir, penalti yang jelas tidak diberikan, dan peluit selalu berbunyi manakala Eagles memainkan bola di area mereka. Belakangan, pada tahun 2018, ia menambahkan, “wasit meniup peluit panjang terlalu cepat. Kami hanya bermain 15 menit lebih atau sekitar segitu. Kami bahkan meninggalkan lapangan dengan pengawalan polisi. Polisi butuh bekerja keras karena setelah pertandingan kami dihujani lemparan batu.”

Empat puluh tahun kemudian, penyerang Jan Groeneweg mengingat hal serupa, “kami seharusnya mendapat 3 penalti, tapi kami memang tidak diijinkan untuk menang. Saya ingat pertandingan pernah dihentikan sejenak karena kami meninggalkan lapangan sebagai bentuk protes kepada kejadian-kejadian dalam pertandingan.”

Mengenai penghentian pertandingan atau kelakuan buruk penonton ini tidak ditemukan dalam catatan berita baik dari sumber arsip Belanda maupun Indonesia.

Formasi Go Ahead Eagles: Nico van Zoghel; Martin Koopman, Teun Kist, Dwight Lodeweges, Bert Strijdveen; Stef Walbeek, Jacques van der Pas (Henk Seubers), Wim Woudsma; Jan Groeneweg, Harry Roseboom, Jo Körver

Walaupun mengalami sore yang penuh kejadian, skuat Go Ahead Eagles tetap mengungjungi sekolah Belanda dimana anak-anak Indonesia dan ekspatriat bersekolah. Sepakbola Belanda benar-benar populer, karena timnas Belanda (peringkat 2 Piala Dunia 1974) akan bermain di Piala Dunia di Argentian beberapa minggu kemudian. Seluruh murid sekolah menyambut Go Ahead Eagles dan tim sempat mengadu kekuatan melawan murid-murid. Sekolah itu masih berdiri hingga tahun 2018 ini, bahkan tetap menggunakan nama NIS (Netherland Inter-Community School/Sekolah Lintas Komunitas Belanda).

Stichting Niet te Kraken
Penalty’s schieten op Arjan Kluitenberg bij de Nederlandse School. Scène uit de film Go Ahead Eagles in Indonesië.

(Terimakasih kepada: Ali Buschen dan Edwin Klok – Bersambung.)